WAWASAN SOSIAL BUDAYA MARITIM
SISTEM KEPERCAYAAN NELAYAN
MUHAMMAD THAUFIQ HIDAYAT (D41115009)
PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO
JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dimudahkan dalam menyelesaikan tugas ini. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Baginda tercinta kita Nabi Muhammad SAW yang telah mengantarkan kita dari dunia yang penuh kebodohan ke dunia yang berilmu hingga saat ini. Tugas Makalah ini berjudul “Sistem Kepercayaan Nelayan”. Yang membahas tentang kepercayaan nelayan terhadap ikan, laut, dan angin. Dalam penyusunan tugas ini kami menyadari bahwa masih banyak kekeliruan dan kekurangan di dalamnya, seperti pepatah mengatakan “Tiada gading yang tak retak”. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan laporan ini. Terima kasih sebesar-besranya kami ucapkan kepada : 1. Allah SWT, atas segala rahmat-Nya sehingga segala sesuatunya bisa berjalan lancar. 2. Bapak Dr. M. Basir Said, MA selaku dosen mata kuliah Wawasan Sosial Budaya Maritim, atas semua ilmu yang beliau berikan. 3. Orang tua, yang telah memberikan dukungan moril maupun materil dalam penyelesaian tugas ini. 4. Teman-teman sekalian yang turut membantu hingga tugas ini dapat terselesaikan. Semoga tugas makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Makassar, 27 April 2016 Penulis BAB I PENDAHULUAN Sistim kepercayaan adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Jadi sistim kepercayaan bukan hanya menyangkut pengetahuan atau pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologi. Seluruh sistim kepercayaan ini dihayati, dipraktikan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekalgus membentuk pola perilaku manusia sehari -hari baik terhadap sesame manusia maupun terhadap alam dan yang gaib. Satria (2002), menggunakan istilah sistim kepercayaan dan mendefinisikan sebagai suatu kekayaan intelektual mereka yanghingga kini terus dipertahankan. Dalam beberapa literature telah mendapat tempat sebagai salah satu sumber ilmu pengatahuan seperti dalam metode RAPFISH (Rapid Appraisal for Fisheries). Inilah yang mesti dikembangkan lebih jauh dan sepatutnya pengetahuan yang dimiliki masyarakat nelayan dihargai sekaligus dikombinasikan dengan temuan-temuan moderen yang dilahirkan lembaga riset atau perguruan tinggi. Sistim kepercayaan masyarakat yang terakumulasi sepanjang sejarah hidup mereka mempunyai peranan sangat besar. Pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan sistim kepercayaan yang menekankan penghormatan terhadap lingkungan alam merupakan nilai yang sangat positif untuk pembangunan berkelanjutan (Gadgil, et al., 1993). Konsep system kepercayaan berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional (Mitcheli, 1997). Sistim kepercayaan didasarkan atas beberapa karakter penggunaan sumberdaya (Matowanyika, 1991), ialah: 1. Sepenuhnya pedesaan 2. Sepenuhnya didasarkan atas produksi lingkungan fisik setempat 3. Integrasi nilai ekonomi, sosial, budaya serta institusi dengan hubungan keluarga sebagai kunci sistem distribusi dan keluarga sebagai dasar pembagian kerja 4. Sistim distribusi yang mendorong adanya kerjasama 5. Sistim pemilikan sumberdaya yang beragam, tetapi selalu terdapat system pemilikan bersama 6. Sepenuhnya tergantung pada pengetahuan dan pengalaman lokal. Akimichi (1991), menyatakan hak kepemilikan (property right), mempunyai konotasi sebagai memiliki (to own), memasuki (to acces), dan memanfaatkan (to use). Konotasi ini, tidak hanya mengacu pada wilayah penangkapan (fishing ground), tetapi mengacu juga pada tekhnik-tekhnik penangkapan, peralatan penangkapan, teknologi yang digunakan, bahkan sumberdaya yang ditangkap dan dikumpulkan. Suatu kesimpulan yang membahas mengenai HUL mengatakan bahwa peubah-peubah pokok dalan kajian HUL meliputi: wilayah, unit pemilik sosial, legalitas (legality) beserta pelaksanaannya (enforcement). Wilayah dalam konteks HUL tidak hanya terbatas pada pembatasan luas wilayah, tetapi juga padaeksklusivitas wilayah. Ekskluvitas wilayah ini dapat juga berlaku pada sumberdaya kelautan, teknologi yang digunakan, tingkat eksploitasinya, dan batas-batas yang bersifat temporal (Satria, 2002). BAB II PEMBAHASAN II. 1. Sistem Kepercayaan Nelayan terhadap Ikan Setiap daerah di Indonesia memiliki adat dan kepercayaan sendiri terkait dengan proses penangkapan ikan. Biasanya memang unik dan memiliki ciri khas sendiri. Keunikan dan kekhasan tersebut yang menjadi identitas dari masing-masing daerah, terutama karena perbedaannya. Perbedaan ciri khas tersebut muncul karena beberapa sebab di antaranya latar belakang agama, adat istiadat, dan warisan turun-temurun dari nenek moyang. Agama merupakan salah satu faktor kuat yang mennyetir suatu tatanan yang ada di dalam masyarakat. Tuntunan agama meresap hingga ke setiap sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Tuntunan merupakan nilai yang menjadi landasan dari norma. Lalu, apa hubungan nilai ini dengan ciri khas suatu daerah dalam kaitannya dengan penangkapan ikan?. Yap, pengaruh agama memiliki peran yang besar dalam tata cara penangkapan ikan di beberapa daerah di Indonesia. Di dalam agama Islam, hari Jumat merupakan hari suci dimana umat muslim terutama pria melaksanakan ibadah sholat Jumat. Oleh karena itu nelayan dari beberapa daerah di Indonesia memilih libur pada hari Jumat, seperti Berau, Kalimantan Timur; Pangandaran, Jawa Barat; dan beberapa daerah lain. Selain libur pada hari Jumat, mereka biasanya juga libur pada permulaan puasa, hari raya Idul Fitri / Idul Adha, dan atau pada hari-hari bulan syawal (setelah Idul Fitri, biasa disebut pula syawalan). Selain agama, faktor yang juga mewarnai tatacara penangkapan ikan di Indonesia adalah adat istiadat. Salah satu adat istiadat yang kental di beberapa daerah adalah larung laut. Larung laut ini merupakan kiriman persembahan kepada penguasa laut agar diberikan hasil ikan yang melimpah dan perlindungan pada saat mereka menangkap ikan. Terlepas dari nilai agama yang menentukan benar atau tidaknya kegiatan ini, larung laut biasa dilaksanakan bertepatan dengan momen-momen tertentu misalnya syawalan. Nelayan di daerah Demak, Jawa tengah, biasanya melakukan ritual ini pada awal bulan syawal. Larung laut juga dilaksanakan di Marunda Kepu, Jakarta Utara. Biasanya, sebuah hiasan miniatur kapal yang berisikan sesajian dengan satu ekor kepala kerbau serta bagian dalamnya, cerutu, telor ayam kampung, bubur merah putih, kembang tujuh rupa, serta air yang sudah dicampur darah, dengan membakar kemenyan atau dupa, merupakan persembahan warga untuk dilarungkan ke tengah laut. Sebelumnya sajian yang akan dilarungkan dibacakan do'a. Selain larung laut, ada juga kebiasaan masyarakat Bajo yang melibatkan pemimpin adat ketika memulai musim tangkap baru yaitu dengan melakukan ritual-ritual di laut. Warisan turun-temurun dari nenek moyang turut membentuk kebiasaan masyarakat dalam menangkap ikan. Hal paling mudah dijumpai adalah adanya mitos mengenai hantu laut, larangan melaut saat menjumpai hiu paus (whale shark– Rhincodon typus), dan larangan menangkap penyu. Mitos hantu laut banyak ditemui di hampir semua wilayah di Indonesia. Daerah Sibolga, Sumatera Utara, pernah dijumpai nelayan yang mengaku menjumpai penampakan hantu laut, akibatnya setelah itu dia sakit. Beberapa tahun kemudian nelayan tersebut sembuh dan kembali melaut setelah di-dukun-kan. Kejadian serupa pernah dijumpai di Solor Timur, Nusa Tenggara Timur, terutama di desa Watobuku dan Moton Wutun yang menyebutkan penampakan sering dijumpai di sekitar Tanjung Naga, apalagi di daerah tersebut terdapat Pulau Sewanggi. Sewanggi sendiri artinya adalah “setan”. Penampakan yang sering terlihat di sana adalah kapal hantu, jenazah palsu, lampu-lampu setan, dan kabut tebal. Larangan melaut apabila menjumpai hiu paus dijumpai pada saat survei dan studi mengenai hiu di daerah Cirebon dan Muara Baru. Kepercayaan kemunculan hiu paus merupakan tanda kesialan dan harus segera berputar arah ke darat, masih kental dan dipercaya oleh sebagian besar masyarakat nelayan di sana. Larangan menangkap penyu karena dipercaya akan sakit bagi penangkapnya dijumpai di daerah Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Begitu beragam keunikan dan kekhasan adat istiadat masyarakat Indonesia khususnya terkait dengan penangkapan ikan. Upaya konservasi dipermudah dengan adanya mitos atau adat istiadat yang menyebutkan secara tidak langsung perlindungan terhadap spesies tertentu (penyu misalnya). Oleh karena adanya kepercayaan tersebut, paling tidak masyarakat akan menghindari untuk menangkap spesies tersebut. II. 2. Sistem Kepercayaan Nelayan terhadap Laut Sejak lama masyarakat Sulawesi Selatan terutama yang bermukim diwilayah pesisir mempunyai pengetahuan tradisional tentang alam raya termasuklingkungan laut, tidak hanya dipandang sebagai status ruang hampa atau ruangkosong yang berproses secara alamiah, melainkan alam itu dihayati sebagai bagian integral dari Sang Pencipta yang penuh misteri. Konsep pengetahuan..budaya yang dimiliki masyarakat bahwa alam raya dikuasai oleh dewata, sedangkan unsur alam seperti langit, bumi dan lautan diserahkan penjagaan dan pengaturannya kepada makhluk-makhluk gaib dan dikenal sebagai figur yang melambangkan kebaikan dan kejahatan. Kebudayaan nelayan terbentuk dari akumulasi pengalaman serta tingkat pengetahuan masyarakat pendukungnya, dan terwujud dalam pola tingkah laku nelayan dalam memenuhi kebutuhannya(Koentjaraningrat, 1972). Sadar atau tidak sadar, untuk masyarakat nelayan telah membentuk pola- pola tingkah laku dalam bentuk norma, sopan santun serta ide, gagasan dan nilai-nilai yang menjadi pedoman bagi tingkah laku para individu dalam kelompoktersebut. Dalam hal ini kebudayaan nelayan menjadi sebuah ”blue print” desain,atau pedoman menyeluruh bagi para pendukungnya. Karena itu, kebudayaansebagai pengetahuan, secara selektif digunakan oleh manusia untukmenginterpretasi dan memahami lingkungan yang dihadapi, dan digunakansebagai referensi untuk melakukan aktivitas. Masyarakat Galesong percayasepenuhnya bahwa lautan itu ádalah ciptaan Sang Maha Kuasa sesuai ajaran Islamyang mereka terima, tetapi merekapun tahu berdasarkan pengetahuantradisionalnya bahwa Tuhan yang disebutnya Karaeng Alla Taala telah melimpahkan penguasaan wilayah lautan lepada Nabi Hillerek. Tidak diketahui secara jelas apakah penguasa laut itu identik dengan nama Nabi Khaidir,sebagaimana terjemahan Tajuddin Maknun. Namun yang pasti masyarakatGalesong sampai sekarang mengenal Nabi Hellerek sebagai tokoh mitologis yangmenjadi penguasa lautan. Berdasarkan anggapan dan kepercayaan tersebut, maka para nelayan lokal di Galesong sangat memuliakan Nabi Hellerek.Perwujudan rasa hormat terhadap sang penguasa lautan dimaksud makasetiap nelayan biasanya melakukan berbagai upacara, baik upacara selamatanmaupun upacara tolak bala dalam upaya pencarian nafkah melalui kegiatan penangkapan ikan di laut. Dalam upacara tersebut digunakan mantra.mantra maupun bahan sesajen khusus, disertai dengan perilaku yang bersifat magis.Secara mitologis masyarakat di Galesong terutama para nelayan memahami lautan sebagai suatu bagian kosmos dengan segenap isinya yang penuh kegaiban dan keajaiban. Warga masyarakat yang berusia lanjut biasanya mempunyai bayangan pikiran tentang adanya kerajaan yang berpusat di dasar lautan sedangkan penguasa-penguasanya adalah terdiri atas para keturunan dewata. Dewa-dewa penguasa lautan dianggap masih bersaudara dengan dewa penguasa langit maupun dewa yang berkuasa di atas bumi. Setelah masuknya pengaruh Islam, maka secara berangsur-angsur mitos tentang kerajaan bawah laut itu bergeser, kemudian muncul mitos lain yang menokohkan Nabi Hellerek. Sampai sekarang belumdiperoleh keterangan yang jelas tentang hubungan Nabi Hellerek dan segenap dewa-dewa penguasa kerajaan bawah laut. Brandt, dalam Nasiruddin (2011), mengemukakan bahwa pengetahuan tentang berbagai gejala laut agar dapat membuat aktivitas produksi mereka lebihefektif, mereka menggunakan metode perikanan yang semula dilakukan dengansuatu pengetahuan tingkah laku yang maksimal dengan suatu alat penangkapanyang minimal. Pengetahuan lokal penduduk pesisir atau penduduk pulau, biasanyadiperoleh secara emik. Dalam hubungannya dengan pengetahuan..lokal, pengetahuan rakyat desa, dapat ditopang dan ditingkatkan oleh kekayaan dan ketajaman pengamatan yang tidak ditemui dalam ilmu pengetahuan orang luar. Hal ini disebabkan, kemampuannya menggunakan sejumlah pengalaman hidup dengan lebih banyak penginderaan dibandingkan dengan ilmuwan modern. II.3. Sistem Kepercayaan Nelayan terhadap Angin Bentuk kepercayaan yang berkaitan dengan mata pencaharian khususnya terkait aktivitas melaut tetap berlaku, sebab mereka tidak memiliki pengetahuan dasar tentang navigasi. Bentuk kepercayaan yang berkaitan dengan navigasi tersebut antara lain kepercayaan arah angin antara lain angin barat, timur, selatan utara, timur laut, barat daya, arus, posisi matahari, letak bintang, serta perhitungan bulan di langit serta pasang surut air laut. Menurut informan S.M. bahwa seseorang yang akan ikut melaut termasuk semua anggota maupun pimpinan kelompok nelayan haruslah mengetahui dasar-dasar cara melaut. Kesemua bentuk kepercayaan tersebut akan menjadi pendorong serta penghalang bagi masyarakat dalam melakukan aktivitas. Sebagai contoh bulan terang, dipercayai oleh masyarakat bisa mempengaruhi kawanan ikan, dimana ikan sangat sulit didapat, sebaliknya bulan gelap atau bulan baru, mengindikasikan banyaknya kawanan ikan. Bila angin barat nelayan tidak boleh melaut, angin timur dipercayai dengan arus yang sangat kuat, posisi bintang dapat menentukan letak kawanan ikan atau menentukan kapan nelayan harus pulang karena mereka dapat melihat seperti bintang Fajar bila sudah berada dilangit akan menandakan datangnya hari pagi. Kepercayaan tentang angin tenggara dan barat laut dipercayai membawa banyak hujan. Waktu posisi bulan sudah rendah atau masih sedikit dilangit mereka mengatakannya sebagai posisi bulan pertama. Ketika bulan muncul pertama kali maka disebut oleh masyarakat nelayan sebagai bulan sabit. Bulan ke 15 adalah bulan purnama karena waktu itu terjadi pasang surut sangat besar yang dinamakan mereka “air besar”. Pada bulan keempat biasanya menurut kepercayaan masyarakat nelayan dirasakan sedikit angker dan sering tidak terdapat ikan terutama terjadi di jumat kliwon. DAFTAR PUSTAKA Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002, Pengkajian Sumberdaya Perikanan Kabupaten Lembata Nusa Tenggara Timur, Kerjasama Balai Peneltian Perikanan Laut, Badan Riset Kelautan dan Perikanan dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lembata. Nasruddin, 2011. Patorani: Sang Pemburu Ikan Terbang dalam Kearifan Lokal diTengah Modernisasi. (Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan PariwisataRepublik Indonesia) Satria, A., 2002, Karakteristik Sistem Sosial Masyarakat Pesisir, Kendari. Soekamto, S., 2002, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Prasada, Jakarata Singarimbun Masri 2006 , Cara Pemenuhan Kebutuhan Pokok bagi rakyat Miskin Penerbit CV Rajawali Jakarta. Wahyono, A., 2001, Pemberdayaan Masyarakat Nelayan, Media Pressindo, Yogjakarta. Undang-Undang Negara RI Nomor 32 tentang Perikanan dan Kelautan, Tahun 2004 http://www.wwf.or.id/?26284/Tradisi-adat-dan-kearifan-lokal-dalam-dunia-perikanan-di-Indonesia (diakses pada tanggal 27 April 2016 pukul 19.23)
Read more ...
SISTEM KEPERCAYAAN NELAYAN
MUHAMMAD THAUFIQ HIDAYAT (D41115009)
PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO
JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dimudahkan dalam menyelesaikan tugas ini. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Baginda tercinta kita Nabi Muhammad SAW yang telah mengantarkan kita dari dunia yang penuh kebodohan ke dunia yang berilmu hingga saat ini. Tugas Makalah ini berjudul “Sistem Kepercayaan Nelayan”. Yang membahas tentang kepercayaan nelayan terhadap ikan, laut, dan angin. Dalam penyusunan tugas ini kami menyadari bahwa masih banyak kekeliruan dan kekurangan di dalamnya, seperti pepatah mengatakan “Tiada gading yang tak retak”. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan laporan ini. Terima kasih sebesar-besranya kami ucapkan kepada : 1. Allah SWT, atas segala rahmat-Nya sehingga segala sesuatunya bisa berjalan lancar. 2. Bapak Dr. M. Basir Said, MA selaku dosen mata kuliah Wawasan Sosial Budaya Maritim, atas semua ilmu yang beliau berikan. 3. Orang tua, yang telah memberikan dukungan moril maupun materil dalam penyelesaian tugas ini. 4. Teman-teman sekalian yang turut membantu hingga tugas ini dapat terselesaikan. Semoga tugas makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Makassar, 27 April 2016 Penulis BAB I PENDAHULUAN Sistim kepercayaan adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Jadi sistim kepercayaan bukan hanya menyangkut pengetahuan atau pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara semua penghuni komunitas ekologi. Seluruh sistim kepercayaan ini dihayati, dipraktikan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekalgus membentuk pola perilaku manusia sehari -hari baik terhadap sesame manusia maupun terhadap alam dan yang gaib. Satria (2002), menggunakan istilah sistim kepercayaan dan mendefinisikan sebagai suatu kekayaan intelektual mereka yanghingga kini terus dipertahankan. Dalam beberapa literature telah mendapat tempat sebagai salah satu sumber ilmu pengatahuan seperti dalam metode RAPFISH (Rapid Appraisal for Fisheries). Inilah yang mesti dikembangkan lebih jauh dan sepatutnya pengetahuan yang dimiliki masyarakat nelayan dihargai sekaligus dikombinasikan dengan temuan-temuan moderen yang dilahirkan lembaga riset atau perguruan tinggi. Sistim kepercayaan masyarakat yang terakumulasi sepanjang sejarah hidup mereka mempunyai peranan sangat besar. Pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan sistim kepercayaan yang menekankan penghormatan terhadap lingkungan alam merupakan nilai yang sangat positif untuk pembangunan berkelanjutan (Gadgil, et al., 1993). Konsep system kepercayaan berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional (Mitcheli, 1997). Sistim kepercayaan didasarkan atas beberapa karakter penggunaan sumberdaya (Matowanyika, 1991), ialah: 1. Sepenuhnya pedesaan 2. Sepenuhnya didasarkan atas produksi lingkungan fisik setempat 3. Integrasi nilai ekonomi, sosial, budaya serta institusi dengan hubungan keluarga sebagai kunci sistem distribusi dan keluarga sebagai dasar pembagian kerja 4. Sistim distribusi yang mendorong adanya kerjasama 5. Sistim pemilikan sumberdaya yang beragam, tetapi selalu terdapat system pemilikan bersama 6. Sepenuhnya tergantung pada pengetahuan dan pengalaman lokal. Akimichi (1991), menyatakan hak kepemilikan (property right), mempunyai konotasi sebagai memiliki (to own), memasuki (to acces), dan memanfaatkan (to use). Konotasi ini, tidak hanya mengacu pada wilayah penangkapan (fishing ground), tetapi mengacu juga pada tekhnik-tekhnik penangkapan, peralatan penangkapan, teknologi yang digunakan, bahkan sumberdaya yang ditangkap dan dikumpulkan. Suatu kesimpulan yang membahas mengenai HUL mengatakan bahwa peubah-peubah pokok dalan kajian HUL meliputi: wilayah, unit pemilik sosial, legalitas (legality) beserta pelaksanaannya (enforcement). Wilayah dalam konteks HUL tidak hanya terbatas pada pembatasan luas wilayah, tetapi juga padaeksklusivitas wilayah. Ekskluvitas wilayah ini dapat juga berlaku pada sumberdaya kelautan, teknologi yang digunakan, tingkat eksploitasinya, dan batas-batas yang bersifat temporal (Satria, 2002). BAB II PEMBAHASAN II. 1. Sistem Kepercayaan Nelayan terhadap Ikan Setiap daerah di Indonesia memiliki adat dan kepercayaan sendiri terkait dengan proses penangkapan ikan. Biasanya memang unik dan memiliki ciri khas sendiri. Keunikan dan kekhasan tersebut yang menjadi identitas dari masing-masing daerah, terutama karena perbedaannya. Perbedaan ciri khas tersebut muncul karena beberapa sebab di antaranya latar belakang agama, adat istiadat, dan warisan turun-temurun dari nenek moyang. Agama merupakan salah satu faktor kuat yang mennyetir suatu tatanan yang ada di dalam masyarakat. Tuntunan agama meresap hingga ke setiap sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Tuntunan merupakan nilai yang menjadi landasan dari norma. Lalu, apa hubungan nilai ini dengan ciri khas suatu daerah dalam kaitannya dengan penangkapan ikan?. Yap, pengaruh agama memiliki peran yang besar dalam tata cara penangkapan ikan di beberapa daerah di Indonesia. Di dalam agama Islam, hari Jumat merupakan hari suci dimana umat muslim terutama pria melaksanakan ibadah sholat Jumat. Oleh karena itu nelayan dari beberapa daerah di Indonesia memilih libur pada hari Jumat, seperti Berau, Kalimantan Timur; Pangandaran, Jawa Barat; dan beberapa daerah lain. Selain libur pada hari Jumat, mereka biasanya juga libur pada permulaan puasa, hari raya Idul Fitri / Idul Adha, dan atau pada hari-hari bulan syawal (setelah Idul Fitri, biasa disebut pula syawalan). Selain agama, faktor yang juga mewarnai tatacara penangkapan ikan di Indonesia adalah adat istiadat. Salah satu adat istiadat yang kental di beberapa daerah adalah larung laut. Larung laut ini merupakan kiriman persembahan kepada penguasa laut agar diberikan hasil ikan yang melimpah dan perlindungan pada saat mereka menangkap ikan. Terlepas dari nilai agama yang menentukan benar atau tidaknya kegiatan ini, larung laut biasa dilaksanakan bertepatan dengan momen-momen tertentu misalnya syawalan. Nelayan di daerah Demak, Jawa tengah, biasanya melakukan ritual ini pada awal bulan syawal. Larung laut juga dilaksanakan di Marunda Kepu, Jakarta Utara. Biasanya, sebuah hiasan miniatur kapal yang berisikan sesajian dengan satu ekor kepala kerbau serta bagian dalamnya, cerutu, telor ayam kampung, bubur merah putih, kembang tujuh rupa, serta air yang sudah dicampur darah, dengan membakar kemenyan atau dupa, merupakan persembahan warga untuk dilarungkan ke tengah laut. Sebelumnya sajian yang akan dilarungkan dibacakan do'a. Selain larung laut, ada juga kebiasaan masyarakat Bajo yang melibatkan pemimpin adat ketika memulai musim tangkap baru yaitu dengan melakukan ritual-ritual di laut. Warisan turun-temurun dari nenek moyang turut membentuk kebiasaan masyarakat dalam menangkap ikan. Hal paling mudah dijumpai adalah adanya mitos mengenai hantu laut, larangan melaut saat menjumpai hiu paus (whale shark– Rhincodon typus), dan larangan menangkap penyu. Mitos hantu laut banyak ditemui di hampir semua wilayah di Indonesia. Daerah Sibolga, Sumatera Utara, pernah dijumpai nelayan yang mengaku menjumpai penampakan hantu laut, akibatnya setelah itu dia sakit. Beberapa tahun kemudian nelayan tersebut sembuh dan kembali melaut setelah di-dukun-kan. Kejadian serupa pernah dijumpai di Solor Timur, Nusa Tenggara Timur, terutama di desa Watobuku dan Moton Wutun yang menyebutkan penampakan sering dijumpai di sekitar Tanjung Naga, apalagi di daerah tersebut terdapat Pulau Sewanggi. Sewanggi sendiri artinya adalah “setan”. Penampakan yang sering terlihat di sana adalah kapal hantu, jenazah palsu, lampu-lampu setan, dan kabut tebal. Larangan melaut apabila menjumpai hiu paus dijumpai pada saat survei dan studi mengenai hiu di daerah Cirebon dan Muara Baru. Kepercayaan kemunculan hiu paus merupakan tanda kesialan dan harus segera berputar arah ke darat, masih kental dan dipercaya oleh sebagian besar masyarakat nelayan di sana. Larangan menangkap penyu karena dipercaya akan sakit bagi penangkapnya dijumpai di daerah Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Begitu beragam keunikan dan kekhasan adat istiadat masyarakat Indonesia khususnya terkait dengan penangkapan ikan. Upaya konservasi dipermudah dengan adanya mitos atau adat istiadat yang menyebutkan secara tidak langsung perlindungan terhadap spesies tertentu (penyu misalnya). Oleh karena adanya kepercayaan tersebut, paling tidak masyarakat akan menghindari untuk menangkap spesies tersebut. II. 2. Sistem Kepercayaan Nelayan terhadap Laut Sejak lama masyarakat Sulawesi Selatan terutama yang bermukim diwilayah pesisir mempunyai pengetahuan tradisional tentang alam raya termasuklingkungan laut, tidak hanya dipandang sebagai status ruang hampa atau ruangkosong yang berproses secara alamiah, melainkan alam itu dihayati sebagai bagian integral dari Sang Pencipta yang penuh misteri. Konsep pengetahuan..budaya yang dimiliki masyarakat bahwa alam raya dikuasai oleh dewata, sedangkan unsur alam seperti langit, bumi dan lautan diserahkan penjagaan dan pengaturannya kepada makhluk-makhluk gaib dan dikenal sebagai figur yang melambangkan kebaikan dan kejahatan. Kebudayaan nelayan terbentuk dari akumulasi pengalaman serta tingkat pengetahuan masyarakat pendukungnya, dan terwujud dalam pola tingkah laku nelayan dalam memenuhi kebutuhannya(Koentjaraningrat, 1972). Sadar atau tidak sadar, untuk masyarakat nelayan telah membentuk pola- pola tingkah laku dalam bentuk norma, sopan santun serta ide, gagasan dan nilai-nilai yang menjadi pedoman bagi tingkah laku para individu dalam kelompoktersebut. Dalam hal ini kebudayaan nelayan menjadi sebuah ”blue print” desain,atau pedoman menyeluruh bagi para pendukungnya. Karena itu, kebudayaansebagai pengetahuan, secara selektif digunakan oleh manusia untukmenginterpretasi dan memahami lingkungan yang dihadapi, dan digunakansebagai referensi untuk melakukan aktivitas. Masyarakat Galesong percayasepenuhnya bahwa lautan itu ádalah ciptaan Sang Maha Kuasa sesuai ajaran Islamyang mereka terima, tetapi merekapun tahu berdasarkan pengetahuantradisionalnya bahwa Tuhan yang disebutnya Karaeng Alla Taala telah melimpahkan penguasaan wilayah lautan lepada Nabi Hillerek. Tidak diketahui secara jelas apakah penguasa laut itu identik dengan nama Nabi Khaidir,sebagaimana terjemahan Tajuddin Maknun. Namun yang pasti masyarakatGalesong sampai sekarang mengenal Nabi Hellerek sebagai tokoh mitologis yangmenjadi penguasa lautan. Berdasarkan anggapan dan kepercayaan tersebut, maka para nelayan lokal di Galesong sangat memuliakan Nabi Hellerek.Perwujudan rasa hormat terhadap sang penguasa lautan dimaksud makasetiap nelayan biasanya melakukan berbagai upacara, baik upacara selamatanmaupun upacara tolak bala dalam upaya pencarian nafkah melalui kegiatan penangkapan ikan di laut. Dalam upacara tersebut digunakan mantra.mantra maupun bahan sesajen khusus, disertai dengan perilaku yang bersifat magis.Secara mitologis masyarakat di Galesong terutama para nelayan memahami lautan sebagai suatu bagian kosmos dengan segenap isinya yang penuh kegaiban dan keajaiban. Warga masyarakat yang berusia lanjut biasanya mempunyai bayangan pikiran tentang adanya kerajaan yang berpusat di dasar lautan sedangkan penguasa-penguasanya adalah terdiri atas para keturunan dewata. Dewa-dewa penguasa lautan dianggap masih bersaudara dengan dewa penguasa langit maupun dewa yang berkuasa di atas bumi. Setelah masuknya pengaruh Islam, maka secara berangsur-angsur mitos tentang kerajaan bawah laut itu bergeser, kemudian muncul mitos lain yang menokohkan Nabi Hellerek. Sampai sekarang belumdiperoleh keterangan yang jelas tentang hubungan Nabi Hellerek dan segenap dewa-dewa penguasa kerajaan bawah laut. Brandt, dalam Nasiruddin (2011), mengemukakan bahwa pengetahuan tentang berbagai gejala laut agar dapat membuat aktivitas produksi mereka lebihefektif, mereka menggunakan metode perikanan yang semula dilakukan dengansuatu pengetahuan tingkah laku yang maksimal dengan suatu alat penangkapanyang minimal. Pengetahuan lokal penduduk pesisir atau penduduk pulau, biasanyadiperoleh secara emik. Dalam hubungannya dengan pengetahuan..lokal, pengetahuan rakyat desa, dapat ditopang dan ditingkatkan oleh kekayaan dan ketajaman pengamatan yang tidak ditemui dalam ilmu pengetahuan orang luar. Hal ini disebabkan, kemampuannya menggunakan sejumlah pengalaman hidup dengan lebih banyak penginderaan dibandingkan dengan ilmuwan modern. II.3. Sistem Kepercayaan Nelayan terhadap Angin Bentuk kepercayaan yang berkaitan dengan mata pencaharian khususnya terkait aktivitas melaut tetap berlaku, sebab mereka tidak memiliki pengetahuan dasar tentang navigasi. Bentuk kepercayaan yang berkaitan dengan navigasi tersebut antara lain kepercayaan arah angin antara lain angin barat, timur, selatan utara, timur laut, barat daya, arus, posisi matahari, letak bintang, serta perhitungan bulan di langit serta pasang surut air laut. Menurut informan S.M. bahwa seseorang yang akan ikut melaut termasuk semua anggota maupun pimpinan kelompok nelayan haruslah mengetahui dasar-dasar cara melaut. Kesemua bentuk kepercayaan tersebut akan menjadi pendorong serta penghalang bagi masyarakat dalam melakukan aktivitas. Sebagai contoh bulan terang, dipercayai oleh masyarakat bisa mempengaruhi kawanan ikan, dimana ikan sangat sulit didapat, sebaliknya bulan gelap atau bulan baru, mengindikasikan banyaknya kawanan ikan. Bila angin barat nelayan tidak boleh melaut, angin timur dipercayai dengan arus yang sangat kuat, posisi bintang dapat menentukan letak kawanan ikan atau menentukan kapan nelayan harus pulang karena mereka dapat melihat seperti bintang Fajar bila sudah berada dilangit akan menandakan datangnya hari pagi. Kepercayaan tentang angin tenggara dan barat laut dipercayai membawa banyak hujan. Waktu posisi bulan sudah rendah atau masih sedikit dilangit mereka mengatakannya sebagai posisi bulan pertama. Ketika bulan muncul pertama kali maka disebut oleh masyarakat nelayan sebagai bulan sabit. Bulan ke 15 adalah bulan purnama karena waktu itu terjadi pasang surut sangat besar yang dinamakan mereka “air besar”. Pada bulan keempat biasanya menurut kepercayaan masyarakat nelayan dirasakan sedikit angker dan sering tidak terdapat ikan terutama terjadi di jumat kliwon. DAFTAR PUSTAKA Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002, Pengkajian Sumberdaya Perikanan Kabupaten Lembata Nusa Tenggara Timur, Kerjasama Balai Peneltian Perikanan Laut, Badan Riset Kelautan dan Perikanan dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lembata. Nasruddin, 2011. Patorani: Sang Pemburu Ikan Terbang dalam Kearifan Lokal diTengah Modernisasi. (Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan PariwisataRepublik Indonesia) Satria, A., 2002, Karakteristik Sistem Sosial Masyarakat Pesisir, Kendari. Soekamto, S., 2002, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Prasada, Jakarata Singarimbun Masri 2006 , Cara Pemenuhan Kebutuhan Pokok bagi rakyat Miskin Penerbit CV Rajawali Jakarta. Wahyono, A., 2001, Pemberdayaan Masyarakat Nelayan, Media Pressindo, Yogjakarta. Undang-Undang Negara RI Nomor 32 tentang Perikanan dan Kelautan, Tahun 2004 http://www.wwf.or.id/?26284/Tradisi-adat-dan-kearifan-lokal-dalam-dunia-perikanan-di-Indonesia (diakses pada tanggal 27 April 2016 pukul 19.23)