TUGAS WAWASAN SOSIAL BUDAYA
MARITIM
Oleh :
MUHAMMAD THAUFIQ HIDAYAT
D41115009
TEKNIK ELEKTRO
PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2016
>>>>^<<<<
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kita panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dimudahkan dalam menyelesaikan tugas
ini. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Baginda tercinta kita Nabi
Muhammad SAW yang telah mengantarkan kita dari dunia yang penuh kebodohan ke
dunia yang berilmu hingga saat ini.
Tugas
Makalah ini berjudul “Sistem Kepercayaan
Nelayan”. Yang membahas tentang kepercayaan nelayan terhadap ikan, laut,
dan angin. Dalam penyusunan tugas ini kami menyadari bahwa masih banyak
kekeliruan dan kekurangan di dalamnya, seperti pepatah mengatakan “Tiada gading
yang tak retak”. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami
harapkan demi kesempurnaan laporan ini.
Terima
kasih sebesar-besranya kami ucapkan kepada :
1. Allah
SWT, atas segala rahmat-Nya sehingga segala sesuatunya bisa berjalan lancar.
2. Bapak
Dr. M. Basir Said, MA
selaku dosen mata kuliah Wawasan
Sosial Budaya Maritim, atas semua ilmu yang beliau berikan.
3. Orang
tua, yang telah memberikan dukungan moril maupun materil dalam penyelesaian tugas ini.
4. Teman-teman
sekalian yang turut membantu hingga tugas
ini
dapat terselesaikan.
Semoga tugas makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca.
Gowa, 27
April 2016
Tim Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Sistim kepercayaan adalah
semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat
kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam
komunitas ekologis. Jadi sistim kepercayaan bukan hanya menyangkut
pengetahuan atau pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi
yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman
dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara semua
penghuni komunitas ekologi. Seluruh sistim kepercayaan ini dihayati,
dipraktikan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang
sekalgus membentuk pola perilaku manusia sehari -hari baik terhadap sesame
manusia maupun terhadap alam dan yang gaib.
Satria (2002), menggunakan istilah
sistim kepercayaan dan mendefinisikan sebagai suatu kekayaan intelektual mereka
yanghingga kini terus dipertahankan. Dalam beberapa literature telah
mendapat tempat sebagai salah satu sumber ilmu pengatahuan seperti dalam
metode RAPFISH (Rapid Appraisal for Fisheries). Inilah yang mesti
dikembangkan lebih jauh dan sepatutnya pengetahuan yang dimiliki masyarakat
nelayan dihargai sekaligus dikombinasikan dengan temuan-temuan moderen yang
dilahirkan lembaga riset atau perguruan tinggi. Sistim kepercayaan
masyarakat yang terakumulasi sepanjang sejarah hidup mereka
mempunyai peranan sangat besar. Pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari
alam dan sistim kepercayaan yang menekankan penghormatan terhadap lingkungan
alam merupakan nilai yang sangat positif untuk pembangunan berkelanjutan
(Gadgil, et al., 1993).
Konsep system
kepercayaan berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal
atau tradisional (Mitcheli, 1997). Sistim kepercayaan didasarkan atas beberapa
karakter penggunaan sumberdaya (Matowanyika, 1991), ialah:
1. Sepenuhnya
pedesaan
2. Sepenuhnya
didasarkan atas produksi lingkungan fisik setempat
3. Integrasi
nilai ekonomi, sosial, budaya serta institusi dengan hubungan keluarga sebagai
kunci sistem distribusi dan keluarga sebagai dasar pembagian kerja
4. Sistim
distribusi yang mendorong adanya kerjasama
5. Sistim
pemilikan sumberdaya yang beragam, tetapi selalu terdapat system pemilikan
bersama
6. Sepenuhnya
tergantung pada pengetahuan dan pengalaman lokal.
Akimichi (1991), menyatakan hak
kepemilikan (property right), mempunyai konotasi sebagai memiliki (to own),
memasuki (to acces), dan memanfaatkan (to use). Konotasi ini, tidak hanya
mengacu pada wilayah penangkapan (fishing ground), tetapi mengacu juga pada
tekhnik-tekhnik penangkapan, peralatan penangkapan, teknologi yang digunakan,
bahkan sumberdaya yang ditangkap dan dikumpulkan. Suatu kesimpulan yang
membahas mengenai HUL mengatakan bahwa peubah-peubah pokok dalan kajian HUL
meliputi: wilayah, unit pemilik sosial, legalitas (legality) beserta
pelaksanaannya (enforcement). Wilayah dalam konteks HUL tidak hanya terbatas
pada pembatasan luas wilayah, tetapi juga padaeksklusivitas wilayah.
Ekskluvitas wilayah ini dapat juga berlaku pada sumberdaya kelautan,
teknologi yang digunakan, tingkat eksploitasinya, dan batas-batas yang bersifat
temporal (Satria, 2002).
BAB II
PEMBAHASAN
II. 1. Sistem
Kepercayaan Nelayan terhadap Ikan
Setiap daerah di Indonesia memiliki adat dan kepercayaan sendiri terkait
dengan proses penangkapan ikan. Biasanya memang unik dan memiliki ciri khas
sendiri. Keunikan dan kekhasan tersebut yang menjadi identitas dari
masing-masing daerah, terutama karena perbedaannya. Perbedaan ciri khas
tersebut muncul karena beberapa sebab di antaranya latar belakang agama, adat
istiadat, dan warisan turun-temurun dari nenek moyang.
Agama merupakan salah satu faktor kuat yang mennyetir suatu tatanan yang
ada di dalam masyarakat. Tuntunan agama meresap hingga ke setiap sendi-sendi
kehidupan bermasyarakat. Tuntunan merupakan nilai yang menjadi landasan dari
norma. Lalu, apa hubungan nilai ini dengan ciri khas suatu daerah dalam
kaitannya dengan penangkapan ikan?. Yap, pengaruh agama
memiliki peran yang besar dalam tata cara penangkapan ikan di beberapa daerah
di Indonesia. Di dalam agama Islam, hari Jumat merupakan hari suci dimana umat
muslim terutama pria melaksanakan ibadah sholat Jumat. Oleh karena itu nelayan
dari beberapa daerah di Indonesia memilih libur pada hari Jumat, seperti Berau,
Kalimantan Timur; Pangandaran, Jawa Barat; dan beberapa daerah lain. Selain
libur pada hari Jumat, mereka biasanya juga libur pada permulaan puasa,
hari raya Idul Fitri / Idul Adha, dan atau pada hari-hari bulan syawal (setelah
Idul Fitri, biasa disebut pula syawalan).
Selain agama, faktor yang juga mewarnai tatacara penangkapan ikan di
Indonesia adalah adat istiadat. Salah satu adat istiadat yang kental di
beberapa daerah adalah larung laut. Larung laut ini merupakan kiriman
persembahan kepada penguasa laut agar diberikan hasil ikan yang melimpah dan
perlindungan pada saat mereka menangkap ikan. Terlepas dari nilai agama yang
menentukan benar atau tidaknya kegiatan ini, larung laut biasa
dilaksanakan bertepatan dengan momen-momen tertentu misalnya syawalan. Nelayan di daerah Demak, Jawa tengah,
biasanya melakukan ritual ini pada awal bulan syawal. Larung laut juga
dilaksanakan di Marunda Kepu, Jakarta Utara. Biasanya, sebuah hiasan miniatur
kapal yang berisikan sesajian dengan satu ekor kepala kerbau serta bagian
dalamnya, cerutu, telor ayam kampung, bubur merah putih, kembang tujuh rupa,
serta air yang sudah dicampur darah, dengan membakar kemenyan atau dupa, merupakan persembahan warga
untuk dilarungkan ke tengah laut. Sebelumnya sajian yang akan dilarungkan
dibacakan do'a. Selain larung laut, ada juga kebiasaan masyarakat Bajo yang
melibatkan pemimpin adat ketika memulai musim tangkap baru yaitu dengan
melakukan ritual-ritual di laut.
Warisan turun-temurun dari nenek moyang turut membentuk kebiasaan
masyarakat dalam menangkap ikan. Hal paling mudah dijumpai adalah adanya mitos
mengenai hantu laut, larangan melaut saat menjumpai hiu paus (whale shark– Rhincodon typus),
dan larangan menangkap penyu. Mitos hantu laut banyak ditemui di hampir semua
wilayah di Indonesia.
Daerah Sibolga, Sumatera Utara, pernah dijumpai nelayan yang mengaku
menjumpai penampakan hantu laut, akibatnya setelah itu dia sakit. Beberapa
tahun kemudian nelayan tersebut sembuh dan kembali melaut setelah di-dukun-kan.
Kejadian serupa pernah dijumpai di Solor Timur, Nusa Tenggara Timur,
terutama di desa Watobuku dan Moton Wutun yang menyebutkan penampakan sering
dijumpai di sekitar Tanjung Naga, apalagi di daerah tersebut terdapat Pulau
Sewanggi. Sewanggi sendiri artinya adalah “setan”. Penampakan yang sering
terlihat di sana adalah kapal hantu, jenazah palsu, lampu-lampu setan, dan
kabut tebal. Larangan melaut apabila menjumpai hiu paus dijumpai pada saat
survei dan studi mengenai hiu di daerah Cirebon dan Muara Baru. Kepercayaan
kemunculan hiu paus merupakan tanda kesialan dan harus segera berputar arah ke
darat, masih kental dan dipercaya oleh sebagian besar masyarakat nelayan di
sana. Larangan menangkap penyu karena dipercaya akan sakit bagi penangkapnya
dijumpai di daerah Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah.
Begitu beragam keunikan dan kekhasan adat istiadat masyarakat Indonesia
khususnya terkait dengan penangkapan ikan. Upaya konservasi dipermudah dengan
adanya mitos atau adat istiadat yang menyebutkan secara tidak langsung
perlindungan terhadap spesies tertentu (penyu misalnya). Oleh karena adanya
kepercayaan tersebut, paling tidak masyarakat akan menghindari untuk menangkap
spesies tersebut.
II. 2. Sistem Kepercayaan Nelayan terhadap Laut
Sejak
lama masyarakat Sulawesi Selatan terutama yang bermukim diwilayah pesisir
mempunyai pengetahuan tradisional tentang alam raya termasuklingkungan laut,
tidak hanya dipandang sebagai status ruang hampa atau ruangkosong yang
berproses secara alamiah, melainkan alam itu dihayati sebagai bagian integral dari Sang Pencipta yang penuh misteri.
Konsep pengetahuan..budaya yang dimiliki masyarakat bahwa alam raya dikuasai oleh dewata,
sedangkan unsur alam seperti langit, bumi dan lautan diserahkan penjagaan dan
pengaturannya kepada makhluk-makhluk gaib dan dikenal sebagai figur yang
melambangkan kebaikan dan kejahatan. Kebudayaan nelayan terbentuk dari akumulasi
pengalaman serta tingkat pengetahuan masyarakat pendukungnya, dan terwujud
dalam pola tingkah laku nelayan dalam memenuhi kebutuhannya(Koentjaraningrat,
1972).
Sadar
atau tidak sadar, untuk masyarakat nelayan telah membentuk pola- pola
tingkah laku dalam bentuk norma, sopan santun serta ide,
gagasan dan nilai-nilai yang menjadi pedoman bagi tingkah laku para
individu dalam kelompoktersebut. Dalam hal ini kebudayaan nelayan menjadi
sebuah ”blue print” desain,atau pedoman menyeluruh bagi para pendukungnya.
Karena itu, kebudayaansebagai pengetahuan, secara selektif digunakan oleh
manusia untukmenginterpretasi dan memahami lingkungan yang dihadapi, dan
digunakansebagai referensi untuk melakukan aktivitas. Masyarakat Galesong
percayasepenuhnya bahwa lautan itu ádalah ciptaan Sang Maha Kuasa sesuai ajaran
Islamyang mereka terima, tetapi merekapun tahu berdasarkan
pengetahuantradisionalnya bahwa Tuhan yang disebutnya
Karaeng Alla Taala telah melimpahkan penguasaan wilayah lautan lepada
Nabi Hillerek.
Tidak
diketahui secara jelas apakah penguasa laut itu identik dengan nama Nabi
Khaidir,sebagaimana terjemahan Tajuddin Maknun. Namun yang pasti
masyarakatGalesong sampai sekarang mengenal Nabi Hellerek sebagai tokoh
mitologis yangmenjadi penguasa lautan. Berdasarkan anggapan dan kepercayaan
tersebut, maka para nelayan lokal di Galesong sangat memuliakan Nabi
Hellerek.Perwujudan rasa hormat terhadap sang penguasa lautan dimaksud
makasetiap nelayan biasanya melakukan berbagai upacara, baik upacara selamatanmaupun
upacara tolak bala dalam upaya pencarian nafkah melalui
kegiatan penangkapan ikan di laut. Dalam upacara tersebut digunakan mantra.mantra maupun bahan
sesajen khusus, disertai dengan perilaku yang bersifat magis.Secara mitologis
masyarakat di Galesong terutama para nelayan memahami lautan sebagai suatu
bagian kosmos dengan segenap isinya yang penuh kegaiban dan keajaiban. Warga
masyarakat yang berusia lanjut biasanya mempunyai
bayangan pikiran tentang adanya kerajaan yang berpusat di dasar lautan sedangkan penguasa-penguasanya adalah terdiri atas para keturunan dewata. Dewa-dewa penguasa
lautan dianggap masih bersaudara dengan dewa penguasa langit maupun dewa yang
berkuasa di atas bumi.
Setelah
masuknya pengaruh Islam, maka secara berangsur-angsur mitos tentang kerajaan bawah laut itu bergeser, kemudian
muncul mitos lain yang menokohkan Nabi Hellerek. Sampai sekarang belumdiperoleh
keterangan yang jelas tentang hubungan Nabi Hellerek dan segenap dewa-dewa
penguasa kerajaan bawah laut. Brandt, dalam Nasiruddin (2011), mengemukakan
bahwa pengetahuan tentang berbagai gejala laut agar dapat membuat aktivitas
produksi mereka lebihefektif, mereka menggunakan metode perikanan yang semula
dilakukan dengansuatu pengetahuan tingkah laku yang maksimal dengan suatu alat
penangkapanyang minimal. Pengetahuan lokal penduduk pesisir atau penduduk
pulau, biasanyadiperoleh secara emik. Dalam hubungannya dengan pengetahuan..lokal, pengetahuan rakyat desa, dapat ditopang dan ditingkatkan oleh kekayaan dan
ketajaman pengamatan yang tidak ditemui dalam ilmu pengetahuan orang luar. Hal
ini disebabkan, kemampuannya menggunakan sejumlah pengalaman hidup dengan lebih
banyak penginderaan dibandingkan dengan ilmuwan modern.
II.3. Sistem
Kepercayaan Nelayan terhadap Angin
Bentuk
kepercayaan yang berkaitan dengan mata pencaharian khususnya terkait aktivitas
melaut tetap berlaku, sebab mereka tidak memiliki pengetahuan dasar tentang
navigasi. Bentuk kepercayaan yang berkaitan dengan navigasi tersebut antara
lain kepercayaan arah angin antara lain angin barat, timur, selatan utara,
timur laut, barat daya, arus, posisi matahari, letak bintang, serta perhitungan
bulan di langit serta pasang surut air laut. Menurut informan S.M. bahwa
seseorang yang akan ikut melaut termasuk semua anggota maupun pimpinan kelompok
nelayan haruslah mengetahui dasar-dasar cara melaut. Kesemua bentuk kepercayaan
tersebut akan menjadi pendorong serta penghalang bagi masyarakat dalam
melakukan aktivitas. Sebagai contoh bulan terang, dipercayai oleh masyarakat
bisa mempengaruhi kawanan ikan, dimana ikan sangat sulit didapat, sebaliknya
bulan gelap atau bulan baru, mengindikasikan banyaknya kawanan ikan. Bila angin
barat nelayan tidak boleh melaut, angin timur dipercayai dengan arus yang
sangat kuat, posisi bintang dapat menentukan letak kawanan ikan atau menentukan
kapan nelayan harus pulang karena mereka dapat melihat seperti bintang Fajar
bila sudah berada dilangit akan menandakan datangnya hari pagi. Kepercayaan
tentang angin tenggara dan barat laut dipercayai membawa banyak hujan. Waktu
posisi bulan sudah rendah atau masih sedikit dilangit mereka mengatakannya
sebagai posisi bulan pertama. Ketika bulan muncul pertama kali maka disebut
oleh masyarakat nelayan sebagai bulan sabit. Bulan ke 15 adalah bulan purnama
karena waktu itu terjadi pasang surut sangat besar yang dinamakan mereka “air
besar”. Pada bulan keempat biasanya menurut kepercayaan masyarakat nelayan
dirasakan sedikit angker dan sering tidak terdapat ikan terutama terjadi di
jumat kliwon.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Kelautan dan Perikanan, 2002, Pengkajian Sumberdaya Perikanan Kabupaten
Lembata Nusa Tenggara Timur, Kerjasama Balai Peneltian Perikanan Laut,
Badan Riset Kelautan dan Perikanan dengan Dinas Perikanan dan Kelautan
Kabupaten Lembata.
Nasruddin,
2011. Patorani: Sang Pemburu Ikan Terbang
dalam Kearifan Lokal diTengah Modernisasi. (Jakarta: Kementrian Kebudayaan
dan PariwisataRepublik Indonesia)
Satria,
A., 2002, Karakteristik Sistem Sosial Masyarakat Pesisir, Kendari.
Soekamto, S., 2002, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Prasada,
Jakarata
Singarimbun
Masri 2006 , Cara Pemenuhan
Kebutuhan Pokok bagi rakyat Miskin Penerbit CV Rajawali Jakarta.
Wahyono,
A., 2001, Pemberdayaan Masyarakat Nelayan, Media Pressindo, Yogjakarta.
Undang-Undang Negara RI Nomor 32 tentang Perikanan dan Kelautan, Tahun 2004
http://www.wwf.or.id/?26284/Tradisi-adat-dan-kearifan-lokal-dalam-dunia-perikanan-di-Indonesia (diakses pada tanggal
27 April 2016 pukul 19.23)
No comments:
Post a Comment